Tawuran bagi sebagian mahasiswa, bukan hal baru lagi. Karena sejak pertama kali masuk kampus, kita [saya khususnya] sudah dikenalkan dengan tawuran. Ibaratnya seperti ikan yang baru lahir langsung pintar berenang. Tidak diajarkan sebenarnya, tapi sebuah keharusan untuk ikut dan terlibat langsung demi sebuah idealisme dan harga diri.
Setidaknya begitulah yang saya rasakan ketika pertama kali masuk kuliah tahun 2009 di salah satu universitas di Makassar. Hari pertama masuk kuliah senior-senior sudah lari kesana-kemari mengumpulkan batu untuk di lemparkan dari fakultas X ke fakultas Y [yang sudah menjadi musuh bebuyutan sejak lama], walaupun sebenarnya kita tidak tau akar masalahnya apa. Yang kita tau ada penyerangan dari fakultas Y ke fakultas X, ada lemparan batu dan kita harus membalas lemparan batu itu demi sebuah harga diri.
Begitulah yang terjadi hampir setiap minggu. Sampai-sampai koran kampus waktu itu menulis bahwa tahun itu merupakan tahun terburuk dan tahun paling sering terjadi tawuran antar fakultas. Kemudian akhirnya pimpinan universitas dalam hal ini Rektor, memutuskan untuk membekukan salah satu fakultas yang sering melakukan tawuran. Agar generasi mahasiswa yang sering tawuran terputus, pimpinan universitas menganggap itulah satu-satunya solusi yang paling efektif untuk menghentikan tawuran yang sudah berlangsung sejak lama dari generasi ke genarasi.
Rektor sebelumnya pun sudah membangun tembok pemisah antar dua fakultas yang sering tawuran, tapi tawuran masih saja terjadi. Maka di pilihlah solusi tadi yaitu pembekuan salah satu fakultas.
Alhamdulillah tahun berikutnya saya sudah tidak pernah mendengar lagi ada tawuran di kampus itu, karena saya sudah pindah ke ibukota, kabar dari teman-teman disana katanya sudah aman. Dan ketika saya pulang kampung akhir tahun 2011 kemarin, tembok pemisah antar dua fakultas itu [mahasiswa sana menyebutnya tembok berlin] sudah tidak ada lagi. Tapi aura ketegangan masih saya rasakan.