1. Symbolic Interactionism Theory By George Herbert Mead
Prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dapn pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang kampung yang norak.
Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.
Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language) dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).
Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang yang berbahasa sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab.
Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lainnya. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.
Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan.
Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.
Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other).
2. Interpersonal Deception Theory By David Buller dan Judith Burgon
Teori komunikasi yang bermanfaat untuk mendeteksi kebohongan dalam komunikasi. Proposisi: semakin ketahuan seseorang dalam berbohong, maka semakin mencari cara berbohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya.
Teori komunikasi yang bermanfaat untuk mendeteksi kebohongan dalam komunikasi termasuk teori scientific: dilandasi teori kebohongan dilandasi teori tentang perilaku yang diukur dengan meningkatnya kedipan kedipan mata, frekuensi kebohongan, perbedaan bahasa verbal dan non verbal .
Teori ini berasumsi komunikasi antar pribadi itu bersifat interaktif, kebohongan menuntut upaya yang keras dengan bahasa cara berbohong. Interpersonal deception: kebohongan komunikasi antar pribadi. cara berbohongnya dengan councealment yaitu dengan menyembunyikan.
The Way Of Concealment/ Strategi Berbohong :
1. Concealment: menyembunyikan rahasia
2. Equivocation: mengalihkan perhatian pada isu lain/berdalih
3. Falsification : menyalahkan kepada orang lain
Proposisi teori ini : semakin ketauan dia berbohong, maka orang tersebut makin mencari cara dalam berbohong. Karakteristik pesan yang menggambarkan maksud strategi :
1. Uncertainty and vagueness: ketidaktentuan dan ketidakjelasan
2. Nonimmediacy, retience, and with drawal: ketidaksiapan, sikap bungkam, penarikan diri
3. Disassociation: tidak ada kaitannya sama sekali
4. Image and relationship protecting behavior (menjaga diri dengan pencitraan diri)
Usaha keras menyembunyikan kebenaran/berbohong, lama kelamaan akhirnya akan ketahuan. Alat berbohong itu adalah bahasa yang tertuang dalam pesan. Teori ini hanya menjelaskan tanda-tanda berbohong tapi tidak menjelaskan alasan berbohong.
3. Social Penetration Theory By Irwin Altman dan Dalmas Montgomery
Teori ini lebih sering disebut sebagai teori bawang.
Definisi
Teori penetrasi sosial adalah pembelajaran mengenai kepercayaan dimana individu harus hidup dengan memaksimalkan kesenangan pribadi dan meminimalkan penderitaan pribadi.
Konsep
1. Privacy rules
Mengenai panduan pribadi bagi diri seseorang untuk mengambil keputusan apakah seseorang tersebut mau membuka diri atau tidak berdasarkan budaya, jenis kelamin, keuntungan, motif, dan konteks.
2. Tingkat kedalaman dan keluasan dari keterbukaan diri semakin dalam kita mengenal seseorang, kita akan semakin tahu seperti apa orang tersebut, mulai dari sifat, cita-cita, sampai mimpi-mimpinya.
3. Boundary coordination
Tentang sejauh mana kita terbuka atau memberikan informasi pada orang lain.
4. Boundary turbulence
Yaitu mengenai munculnya konflik-konflik karena tidak adanya kesepakatan dalam mengatur aturan privacy.
4. Diffusion Theory By Everett Rogers
Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan. Teori ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia mendefinisikan difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial.
Inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak.
Difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori pada abad ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul “The Laws of Imitation” (1930), Tarde mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan mengenai opinion leadership , yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti efek media beberapa dekade kemudian.
Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih berpengetahuan dibanding yang lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi.
Tahapan peristiwa yang menciptakan proses difusi
1. Mempelajari Inovasi:
Tahapan ini merupakan tahap awal ketika masyarakat mulai melihat, dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada.
Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan kedekatan secara fisik.
2. Pengadopsian:
Dalam tahap ini masyarakat mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh masyarakat ditentukan juga oleh beberapa faktor. Riset membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang.
Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mangadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi.
3. Pengembangan Jaringan Sosial:
Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh masyarakat. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya.
Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadaran masyarakat mengenai penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.
Lima tahap proses adopsi
1. Tahap pengetahuan:
Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak , maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat
2. Tahap persuasi:
Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut.
3. Tahap pengambilan keputusan:
Dalam tahap ini, seseorang membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
4. Tahap implementasi:
Seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.
5. Tahap konfirmasi:
Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.
Kategori pengadopsi
Rogers dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori pengguna inovasi :
1. Inovator:
Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
2. Pengguna awal:
Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.
3. Mayoritas awal:
Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.
4. Mayoritas akhir:
Kelompok zang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.
5. Laggard:
Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.
5. Relational Dialectics Theory By Leslie Baxter dan Barbara Barthes
Teori ini membahas mengenai hubungan manusia melakukan dialektika, proses yang menunjukkan saling respon satu sama lain.
Cara mengadopsi dialektika:
1. Penolakan: Menghindari konflik/ mengabaikan
2. Disorientasi: Mengikuti jalan hidup tapi tidak mau tahu
3. Spiraling alterio: Merespon selang seling
4. Segmentasi: Memilah-milah persoalan
5. Balance: Mempertahankan hubungan dengan keseimbangan dialog
6. Integrasi: Menyatukan keinginan/kepentingan keduabelah pihak
7. Recalibration: Pencocokan
8. Reaffirmation: Meyakinkan kembali masing-masing pasangan
6. Cognitive Dissonance Theory By Leon Festinger
Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Pernahkah kamu merasa terbebani dengan orientasi seksualmu? Kamu bingung mengapa bisa memiliki rasa suka kepada sesama jenis dan berusaha menyangkalnya? Tidakkah saat itu kamu merasa sangat takut jika orang lain tahu sehingga kamu berusaha menyembunyikan dan tidak menginginkannya? Gejala-gejala seperti ini menunjukkan bahwa kamu sedang mengalami dilema. Dalam dunia LGBT, keadaan semacam ini populer dengan istilah denial. Namun, ditinjau dari segi psikologis, kamu mungkin mengalami apa yang disebut sebagai cognitive dissonance atau disonansi kognitif.
Defenisi Disonansi Kognitif
Wibowo (dalam Sarwono, S.W., 2009) mendefinisikannya sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku. Festinger (1957), berpendapat bahwa disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang, yang diakibatkan oleh penyangkalan dari satu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu. Hubungan yang bertolak belakang tersebut, terjadi bila ada penyangkalan antara elemen kognitif yang satu dengan yang lain, misalnya antara sikap positif A terhadap B (A mencintai suaminya B) dan sikap A terhadap perilaku B (berselingkuh).
Seorang lesbian, misalnya, dapat mengalami disonansi ketika menyadari orientasi seksualnya karena dia tahu agama dan norma sosial menganggap orientasinya sebagai penyimpangan. Akibatnya, lesbian tersebut berusaha menyangkal orientasinya untuk tetap berpegang pada norma agama dan norma sosial, atau justru menyangkal norma tersebut untuk dan berusaha merasa nyaman dengan orientasi seksualnya.
Namun, perlu diingat, bahwa istilah disonansi tidak hanya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan orientasi seksual. Ketika seseorang bingung karena sangat ingin pergi ke luar kota bersama teman tetapi juga tidak ingin melanggar larangan orang tua, dia juga bisa disebut mengalami disonansi kognitif. Larangan yang harus dipatuhi berbenturan dan membentuk penyangkalan pada keinginannya untuk pergi.
Disonansi kognitif tidak hanya bisa timbul dari diri seseorang saja, tetapi juga dapat timbul akibat pengaruh faktor eksternal di luar dirinya. Seorang lesbian yang sudah merasa keluar dari masa denial dan bisa menerima orientasi seksualnya, misalnya, masih dapat mengalami disonansi kognitif akibat sikap atau perkataan orang lain. Dalam sebuah penelitian, seorang lesbian mengaku, ”The tension I experience comes from trying to answer ordained clergy’s questions about ‘ a sin of being openly avowing as a lesbian Christian” (Mahaffy, 1996).
Bila terjadi disonansi, ada sesuatu yang harus dilepas, atau ada ketidaksesuaian antara suatu keyakinan dengan keyakinan-keyakinan atau sikap yang penting. Bersikeras mempertahankan kedua-duanya, akan terasa sangat menyiksa.
Asumsi-Asumsi Teoritis
Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:
• Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.
• Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif.
• Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
• Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.
Menurut Leon Festinger, Perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang”(1957, hal 4).
Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.
Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua eleman itu sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa disonansi, secara psikologis tidak nyaman , maka akan memotifasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan. Orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan memunculkan disonansi dalam berkomunikasi.
Dalam teori disonansi kognitif ada tiga elemen yang menjadi sorotan, yaitu :
1. Tidak relevan satu sama lain.
2. Konsisten satu sama lain (harmoni).
3. Tidak konsisten satu sama lain (disonansi).
Roger Brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant), disonansi (dissoanant), atau tidak relevan (irrelevan).
Hubungan konsonan (consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, jika bahwa kesehatan dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesehatan dan perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama lain. Atau pada kasus kaum lesbian. Jika perilaku lesbian dan norma agama atau sosial tidak ada pertentangan, berarti lesbian dengan norma agama dan sosial merupakan hubungan yang konsonan.
Hubungan disonansi (dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang penganut agama yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai aborsi. Atau kasus kaum lesbian, mengenai perilakunya yang lesbi dengan konflik dengan norma agama atau sosial yang bertentangan, membuat hubungan ini disonan.
Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen tidakmengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan.
7. Semiotics Theory By Roland Barthes
Semiotic berasal dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiologi atau semiotic berarti ilmu tentang tanda-tanda. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes dan dikembangkan menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
8. Agenda Setting Theory By Maxwell & Mc Combs
Menurut McCombs dan Shaw, “we judge as important what the media judge as important.” Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.
Denis McQuail (2000: 426) mengutip definisi Agenda Setting sebagai “process by which the relative attention given to items or issues in news coverage infulences the rank order of public awareness of issues and attribution of significance. As an extension, effects on public policy may occur.”
Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai mediator antara “the world outside and the pictures in our heads”. McCombs dan Shaw juga sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
Awalnya teori ini bermula dari penelitian mereka tentang pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 1968. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara isi media dengan persepsi pemilih.
McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat kabar tersebut.
Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi pemberitaan.
Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya adalah, ternyata ada kesamaan antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu yang ditonjolkan oleh pemberitaan media massa.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.
Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai “gatekeepers.” Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.
Dalam dunia komunikasi politik, para calon presiden biasanya memiliki tim media yang disebut dengan istilah ‘spin doctor.’ Mereka berperan dalam menciptakan isu dan mempublikasikannya melalui media massa. Mereka ini juga termasuk ke dalam ‘gatekeeper’ tadi.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997).
9. Cultivation Theory By George Gerbner
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif.
Saat ini, televisi merupakan salah satu bagian yang penting dalam sebuah rumah tangga, di mana setiap anggota keluarga mempunyai akses yang tidak terbatas terhadap televisi. Dalam hal ini, televisi mampu mempengaruhi lingkungan melalui penggunaan berbagai simbol, mampu menyampaikan lebih banyak kisah sepanjang waktu.
Gebrner menyatakan bahwa masyarakat memperhatikan televisi sebagaimana mereka memperhatikan tempat ibadah (gereja). Lalu apa yang dilihat di televisi? Menurut Gerbner adalah kekerasan, karena ia merupakan cara yang paling sederhana dan paling murah untuk menunjukkan bagiamana seseorang berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Televisi memberikan pelajaran berharga bagi para penontonnya tentang berbagai ‘kenyataan hidup’, yang cenderung dipenuhi berbagai tindakan kekerasan.
Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu (1) para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompokpenontonini sering juga disebut sebagai kahalayak ‘the television type”, serta 2 (dua) adalah penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau kurang dalam setiap harinya.
10. Dependency Theory By Sandra Ball-Rokeah & Melvin De Fleur
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.
Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).
Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.
Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian.
11. Social Semiotics By MAK Halliday
Teori linguistic, Michael Halliday, memperkenalkan ‘semiotika sosial’ istilah dalam linguistic, ketika ia menggunakan ungkapan dalam judul, bahasa bukunya sebagai Semiotika Sosial. Karya ini berpendapat terhadap pemisahan tradisional antara bahasa dan masyarakat, dan mencontohkan awal dari pendekatan ‘semiotik’, yang memperluas focus sempit pada bahasa tertulis dalam linguistic. Untuk Halliday, bahasa berkembang sebagai system “potensi makna” atau sebagai set sumber daya yang mempengaruhi apa yang pembicara dap dilakukan dengan bahasa, dalam konteks sosial tertentu.
Referensi:
Severin, Werner J., Teori Komunikasi “Sejarah, Metode Dan Terapan Dalam Media Massa”, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta : Kencana, 2005.
Sarwono, Sarlito. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Himanika. 2009.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS, 2001.
Sturken, M. dan Lisa Cartwright. Practices of Looking, an Introduction to Visual Culture. New York: Oxford University Press, 2001.