Oleh:
ALI RAHMAN MUTAJALLI
JURNALISTIK II/C
NIM: 1110051100077
KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011 M / 1432 H
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Hadits yang dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan. Namun selain Hadits, terdapat juga Sunnah, Khabar, dan Atsar.
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah. Sedangkan Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar.
Atsar sendiri Secara etimologiberarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Baik Hadits, Sunnah, Khabar, maupun Atsar merupakan sumber yang dijadikan umat islam sebagai pedoman setelah Al-Qur’an. Meskipun yang lebih diutamakan pada dasarnya setelah Al-Qur’an adalah Hadits, karena Hadits merupakan sumber hukum ajaran islam yang patut di pedomani setelah Al-Qur’an. Selain itu masih banyak perbedaan pendapat oleh para ulama mengenai pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, maupun Atsar yang tidak bisa dijelaskan semua dalam makalah ini karena keterbatasan penyusun.
Namun dalam makalah ini sudah terbilang cukup untuk digunakan sebagai bahan awal dalam mempelajari pengertian Hadits, Sunnah, Khabar maupun Atsar. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, tetapi penyusun makalah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik untuk para pembaca.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini kita lebih mengetahui pengertian tentang Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar. Terlepas dari kesalahan yang terdapat dalam makalah ini penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya dan mudah-mudahan kedepannya bisa melakukan yang terbaik dan tidak terdapat lagi kesalahan dan kekurangan disana-sini.
PENGERTIAN HADITS
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti al jadid minal asyyaالجديد (sesuatu yang baru), lawan dari qodimالقديم. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.[1] Qorib (yang dekat). Khabarالخابر (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.[2] Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.[3]
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan alhaditsالاحاديث. Jamak alhadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad inilah yang dipakai. Jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan alhadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Ada juga yang berpendapat ahadits bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya.Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
“maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif)dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.[4]
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.[5] Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.[6]
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan.
Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan sahabat atau tabi'in.
Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
PENGERTIAN SUNNAH
Sunnah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau tidak.[7] Jamaknya adalah sunan.Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah.Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat.
Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai Uswatun Hasanah atau Qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasullullah SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R.Malik)
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya:"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul jauhilah".
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
PENGERIAN KHABAR
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar.
Dan menurutnya khabar murodif dengan hadits.[8]Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
1. Kata khabar sinonim dengan hadits;
2. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
3. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits[9].
Menurut istilah sumber ahli hadits baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
PENGERTIAN ATSAR
Atsar (أَثَرٌ) menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Menurut Ibnu Faris, kata atsar (أَثَرٌ) berasal dari ‘taqdimu asy-syai’’ (تَقْدِيْمُ الشَّيْءِ = mengutamakan atau memilih sesuatu), dalam arti memutuskan untuk mengambil sesuatu dari beberapa pilihan yang ada.Sesuatu do'a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits.
الأثر: لغة: البقبة
واصطلاحا: فيه قولان:
. مرادف للحديث
. مغاير له: ما أضيف إلى الصحاية والتابعين من أقوال و أفعال
Secara etimologiatsarberarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya.[10] Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
----------
[1] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut; Libanon. 1992. hal. 26
[2] Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul Bairut; Libanon. 1992. hal. 24
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal 1
[4] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu,….….hal. 27
[5] Ibid.
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar,…….hal. 4.
[7] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu,….….hal. 17
[8] Ibid, 27
[9] Ibid, hlm 27-28.
[10] Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 51.
DAFTAR PUSTAKA
Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang,Cet.Kedua,1998.