PENDAHULUAN
Kata dakwah (mengajak), secara esensial mengandung tiga dimensi yang bersifat integral, yaitu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tiga dimensi tersebut ialah penyadaran yang ditujukan kepada fitrah manusia sebagai makhluk monoteis (bertauhid) dan beriman kepada Allah, pengarahan yang ditujukan kepada hawa nafsu, dan bimbingan yang ditujukan kepada akal sebagai power of reason (kekuatan penalaran). Dari tiga dimensi tersebut, jelaslah bahwa yang menjadi subyek dan obyek dakwah adalah manusia.
PEMBAHASAN
1. Dimensi Penyadaran
Pada hakikatnya, dakwah menghendaki agar manusia sadar terhadap jati dirinya sebagai makhluk yang beriman kepada Allah. Menurut Ibnu Taimiyah “pada dasarnya manusia dilahirkan ke dunia tidak memiliki pengetahuan apapun.” ungkapan ini berlandaskan pernyataan Alquran, “sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara di antara manusia dengan keputusanNya” (QS Al-Naml : 78).
ان ربك يقضى بينهم بحكمه وهوالعزيزالعليم
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia kondisi awalnya tidak memiliki apa-apa. Namun demikian, manusia dibekali dengan daya-daya potensial yang disebut fitrah (QS Al-Rum : 30).
Daya-daya tersebut inheren pada diri manusia, sehingga ia dapat menduduki posisi sebagai al-Ahsan al-Taqwim (QS Al-Thin : 4). Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah membagi daya-daya yang terkandung dalam fitrah pada tiga bagian. Pertama, daya intelek (quwwah al-aql), yaitu suatu daya yang berpotensi untuk mengenal dan mengtauhidkan Allah. Dengan daya ini manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Di samping itu, dengan daya ini manusia memperoleh pengetahuan. Inilah yang menjadi indikator manusia bebeda dengan makhluk lainnya, yakni berfikir untuk mencari kebenaran. Oleh karenanya, manusia yang mengingkari terhadap daya ini, konsekuensinya dia akan menjadi kufur dan musyrik.
Menurut Dr. Juhaya S. Praja, “di dalam daya intelek terkandung daya nazhar dan iradah. Daya nazhar terdiri dari dimensi kognisi, persepsi dan komprehensi. Sedangkan daya iradah terdiri dari dimensi emosional dan kemampuan menilai. Dengan demikian, secara naluriah manusia cenderung untuk berbuat kebajikan. Maka dakwah dalam proses penyadaran membimbing akal manusia agar mampu mengontrol jati dirinya sebagai manusia yang ideal dan beriman.
Kedua, daya ofensif yakni suatu daya yang berpotensi menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan pragmatis. Jika seseorang mengingkari terhadap daya ini, maka ia akan terjerumus pada perbuatan-perbuatan hedonistis yang bertentangan dengan syariat, seperti perzinahan, perjudian, korupsi dan jenis perbuatan lainnya yang serupa.
Ketiga, daya defensif yaitu daya yang berpotensi untuk menghindari kejahatan. Dengan demikian orang yang mengingkari daya ini, niscaya ia akan berbuat kejahatan yang tidak manusiawi, seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Jika daya ofensif dan defensif tersebut terkontrol oleh daya intelek, konsekuensinya manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia di bumi ini. Sebab dengan akalnya dia dapat melebihi malaikat (QS Al-Baqarah : 31-34). Namun demikian, seandainya daya intelek tidak dapat mengontrol kedua daya itu, bahkan daya intelek dapat dikuasai oleh daya ofensif dan defensif, maka manusia akan tersesat menjadi asfal al-safilin atau makhluk yang terendah melebihi derajat binatang (QS Al-Thin : 5). ثم رددناه اسفل سا فلين Karenanya, tahap awal dalam berdakwah adalah mengingatkan kembali kepada fitrah manusia dengan proses penyadaran bahwasanya ia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci. Tentunya dari penyadaran output yang diharapkan adalah taubat, yakni sebuah proyeksi pengakuan kembali manusia terhadap eksistensinya sebagai makhluk yang harus mengabdi kepada Allah (QS Al-Dzariat : 56). وماخلقت الجن والانس الا ليعبدون
2. Dimensi Pembebasan.
Setelah melakukan penyadaran, maka langkah selanjutnya adalah aktualisasi pembebasa, yaitu menghapus dunia lama yang tidak islami menjadi islami. Dengan kata lain, dakwah adalam konteks pembebasan berarti melakukan rekonstruksi masyarakat islami. Oleh karenanya proses dakwah dalam pembebasan ini mencakup empat unsur, yaitu:
a. Keyakinan
b. Fikrah (pemikiran
c. Sikap
d. Perilaku
Menurut Muhammad Naquib a-Atas, yang dimaksudkan dengan Islamisasi adalah “Proses pembebasan manusia, mulai dari segenap tradisi yang bersifat magis, mitologis, animistis dan budaya lokal yang irasional hingga pada pembebasan manusia darui pengaruh sekular yang membelenggu pikiran dan perilakunya. Dengan itu manusia yang islami adalah manusia yang pikiran dan bahasanya tidak lagi dipengaruhi oleh magi, animisme, tradisi kultural dan sekuralisme, sehingga sikap dan perilakunya mengespresikan nilai-nilai islam.
Dalam rangka mengislamisasikan empat unsur tersebut, maka diperlukan aktualisasi konsep tauhid. Minimal ada tiga hal yang dapat kita ambil dari esensi ajaran tauhid. Yaitu:
a. Tujuan pencipataan alam semseta
b. Pembebasan dan kemerdekaan manusia dari perbudakan
c. Penghambaan yang dilakukan hanya kepada Allah
Jika tauhid ini dijadikan landasan dalam proses dakwah, maka fungsi dakwah juga akan mampu menyelamatkan manusia dari sekularisme yang cenderung mengkultuskan manusia sebagai Tuhan.
3. Dimensi Pelembagaan.
Sebagai manifestasi teologis, dakwah harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial, yakni dengan melembagakan nilai-nilai islam ke tatanan masyarakat. Kewajiban mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan Allah, diutamakan kepada setiap muslim.
Jika proses dakwah telah menginjak pada tahap pelembagaan, pada dasarnya kewjiban dakwah merupakan kewajiban setiap pemeluk, atau sekurang-kurangnya ada segolongan umat yang melakukannya. Segolongan umat yang dimaksud disini adalah sebuah lembaga dakwah formal yang telah dikelola dan digerakkan dalam manajemen islami. Misalkan lembaga dakwah formal yang ada di Indonesia, contohnya adalah BAZIS DKI, Dompet Du’afa, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, dan sebagainya.
Dengan demikian orientasi dakwah dalam tahap pelembagaan adalah dakwah bi al-hal, yang dalam hal ini dakwah merupakan bagian yang pasti ada dalam kehidupan masyarakat. Maka tujuan sentral dari pelembagaan dakwah, yaitu mewujudkan sistem kemasyarakatan yang islami, sehingga melahirkan umat yang terbaik. Dari sinilah terjadinya interaksi anatar da’i dengan jamaah dengan dakwah. Konsekuensi logisnya diharapkan dapat melahirkan kepempimpinan dakwah yang professional.