PENDAHULUAN
Sebagai ilmu yang menggeluti kehidupan dan kebudayaan manusia, antropologi agama tidak dapat dilepaskan dari uraian tentang kehidupan manusia dan agama, dari hubungan antara keduanya. Hubungan antara dua variabel ini ada yang menyangkut masalah-masalah besar, menengah dan “kecil”. Meneliti hubungan masalah besar dalam kehidupan seperti hubungan agama dan kemajuan, pembangunan atau modernisasi, agama dan kebahagiaan hidup dinamakan dengan grand theories.
Di bawah itu, dapat pula diteliti masalah yang lebih khusus, seperti hubungan agama dengan politik, ilmu pengetahuan, seni, organisasi, yang dapat dinamakan dengan middle theories. Kemudian perhatian antropologi dapat pula ditujukan kepada fenomena yang lebih khusus atau kecil, dari middle theories dalam masyarakat, seperti fenomena meneliti musik nasyid di kampus suatu universitas umum, kehidupan spritual para selebritis suatu kota metropolitan. Hasil penelitian atau studi tentang hal yang lebih khusus ini yang biasa dinamakan studi kasus, dapat dinamakan dengan micro theories.
Di antara ahli antropologi ada yang tidak setuju, antropologi ikut-ikutan mengembangkan pengetahuan teoritis seperti ilmu alam, sosiologi dan ilmu ekonomi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Greetz. Namun, sebagai ilmu yang mulanya dikembangkan oleh kebudayaan modern Barat, penilaian terhadap hubungan agama dan kehidupan dapat dibaca, baik secara tersurat, atau minimal secara tersirat dalam tulisan mereka.
AGAMA
Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepadaTuhan.
Emile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Teori Tentang Agama
1. Teori Tentang Asal-Usul Agama
Berikut ini dikemukakan berbagai teori antropologi tentang asal-usul agama. Koentjaraningrat hanya mengemukakan teori tentang asal-usul agama, padahal teori tentang agama yang lebih penting diungkapkan adalah pengaruhnya terhadap komponen budaya. Ia membagi teori antropologi tentang agama kepada tiga macam. Pertama, teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada keyakinan keagamaan. Kedua, teori yang berorientasi kepada sikap manusia. Ketiga, teori yang berorientasi kepada upacara religi.
a. Teori berorientasi kepada keyakinan keagamaan
R.R. Marret (1886-1940) berpendapat bahwa kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan akan adanya kekuatan gaib luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan manusia biasa. Kekuatan gaib yang berupa mana yang dipercayai orang Melanesia dapat juga dimiliki manusia. Orang yang memiliki mana mampu mengerjakan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan manusia biasa. Orang yang memiliki mana berkuasa dan mampu memimpin orang lain. Emosi dan getaran jiwa manusia purba kagum kepada hal-hal yang luar biasa dan sumber terjadinnya kejadian luar biasa itu. Manusia zaman kuno yakin kepada adanya zat halus memberi kekuatan hidup dan gerak kepada yang memilikinya.
b. Teori yang berorientasi kepada sikap manusia terhadap yang gaib
Rudolf Otto menekankan sikap kagum terpesona dari penganut agama terhadap zat yang gaib (mysterium), maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha bijaksana (tremendum) dan keramat (sacer). Karena itu, manusia tertarik untuk bersatu dengan zat tersebut. Teori Otto tampak cocok dengan agama besar dunia, dan tidak cocok dengan agama primitif. Otto berpendapat bahwa kepercayaan masyarakat primitif belumlah agama, hanya tahap pendahuluan kepada agama.
c. Teori yang berorientasi kepada upacara religi
Ahli antorpologi Prancis, R. Hetz, mengkhususkan perhatian kepada upacara kematian. Hertz berpandangan bahwa tingkah laku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh gagasan orang banyak. Karena itu, ia berpendapat bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial. Analisis upacara kematian menurutnya harus bebas dari perasaan individu pelakunya. Persoalan hidup dan mati dipandang banyak suku bangsa di dunia sebagai proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu di dunia ini kepada kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus.
Dengan demikian upacara kematian tidak lain dari jenis inisiasi. Hertz juga menjelaskan ada persamaan antara upacara kematian dengan upacara kelahiran dan perkawinan, yaitu sama-sama upacara peralihan. Pada upacara kematian seseorang beralih dari alam hidup ke alam gaib. Dalam upacara kelahiran seseorang beralih dari alam gaib ke alam hidup. Upacara perkawinan adalah peralihan dari masa lajang ke masa berumah tangga. Kesamaan peralihan ini dinamakan dengan rites de passage. Dalam upacara peralihan itu ada bagian perpisahaan, ada bagian peralihan dan ada bagian integrasi kembali.
2. Teori Dari Berbagai Tinjauan Ilmu
Anne Marie de Wall Malefijt mengungkapkan teori-teori tentang kehidupan beragama dari berbagai sudut tinjauan dan teori, seperti teori linguistik, rasionalistik, teori migrasi dan difusi, teori psikologis, teori sosiologis, dan teori fenomenologis.
a. Teori Lingusitik
Kajian terhadap agama secara ilmiah dimulai sesudah kajian terhadap bahasa mulai berkembang. Keduanya punya kesamaan sebagai gejala universal dari kehidupan manusia. Adalah dua bersaudara Jacob Crimm dan Wilhem Grimm yang memulai penggabungan kajian mitos dengan bahasa. Dia mengumpulkan sebagian besar lagenda, cerita rakyat, khurafat-khurafat, dan pepatah seantero Eropa dan terperanjat karena menyaksikan adanya kesamaan antara semuanya. Demikian juga dsaksikan dalam kitab Rig-Veda yang diperkirakan ditulis dua abad sebelum masehi. Keagamaan itu adalah cerita rakyat modern yang semmula adalah mitos masa lalu yang telah ditambah, dikurangi, atau dikorup. Karena itu, cerita rakyat Indo-Eropa juga berasal dari sumber kuno yang sama.
b. Teori Rasionalistik
Teori ini diterapkan pada kajian agama mulai abad ke-19. Secara umum yang dimaksudkan dengan teori rasionalistik adalah keyakinan ilmuan bahwa manusia prasejarah menjelaskan kepercayaan kepercayaan mereka hampir dekat dengan cara ilmiah, tetapi mereka sampai kepada kesimpulan yang salah karena kekurangan pengtahuan dan pengalaman mereka. Kecenderungan teori ini tampak karena dipengaruhi oleh cara berpikir orang Barat, khususnya para ahli antropologinya, dalam memahami sebagian besar masalah dalam kehidupan mereka. Ketika melihat ada budaya dan kepercayaan suku bangsa lain atau zaman lain yang sangat berbeda dengan budaya mereka, mereka memandang cara suku bangsa lain mendapatkannya hampir sama dengan cara berpikir ilmiah yang mereka lakukan, cuma kesimpulan akhir yang berbeda dengan mereka.
c. Teori Sosiologis
Teori ini menujukan perhatian kepada pertanyaan tentang apa fungsi agama bagi kehidupan manusia. W. Robert Smith menulis unsur-unsur agama kuno (pagan) dalam agama-agama suku bangsa Semit, termasuk dalam agama Yahudi. Agama bangsa Semit menurutnya sangat bersifat kesukuan sejalan dengan struktur sosioal mereka. Masing-masing suku punya Tuhannya sendiri-sendiri yang dipercayai sebagai pencipta alam fisik dan nenek moyang mereka. Karena itu Tuhan dan diri mereka sendiri dari satu keturunan. Tuhan pada dasarnya menjelma dalam bentuk suatu species binatang sebagai kepercayaan totem. Hubungan manusia denganTuhan terjadi ketika memakan hewan totem dalam acara ritual. Kemudian Smith berpendapat bahwa teorinya ini juga berlaku pada segenap agama masyarakat yang tidak bisa tulis baca (nonliterate societies). Mereka, menurut Smith, tidak punya dogma, tetapi punya upacara ritual. Teorinya dikritik sebagai yang sangat diragukan karena tidak punya bukti.
d. Teori Migrasi dan Difusi
Kalau Koentjaraningrat menamakan teori Wilhem Schidt dengan teori teologis, Malefijt menamakannya dengan teori migrasi dan difusi. Fritz Grabner juga sependapat dengan Schmidt bahwa monoteismelah yang mula-mula berkembang dalam kehidupan beragama manusia. Politeisme, animisme, totemisme, magis, fetish, dan lainnya, merupakan perkembangan kemudian. Teorinya didasarkan kepada data yang ditemukannya di kalangan suku Pygmy Afrika yang menurutnya merupakan kebudayaan Afrika yang orisinil.
e. Teori Psikologis
Sigmund Freud mulanya seorang dokter medis. Ia menyaksikan banyak penyakit fisik dilatarbelakangi oleh gangguan jiwa. Ia juga menulis tentang agama dan agama masyarakat primitif. Gangguan jiwa manusia, menurutnya, disebabkan keinginan hewani manusia yang terkumpul dalam alam bawah sadar manusia (das Ich) banyak yang terhalang untuk direalisasi oleh nilai-nilai ideal yang berada dalam jiwa manusia yang dinamakan dengan superego. Superego berasal dari tekanan hukum, moral, agama, dan budaya. Keinginan hewani manusia demikian mendasar, menurut Freud, sehingga tampil dalam bentuk Oedipus Complex. Dari masih kecil, anak-anak sudah menaruh cemburu kepada orang tuanya yang sejenis kelamin dengan dia karena orang tuanya itu juga mencintai orang tuanya yang berlawanan jenis dengan dia sendiri. Dia juga mencintai orang tuanya yang berlawanan jenis kelamin itu. Oleh karena itu, anak laki-laki menaruh cemburu dari kecil kepada ibunya.
f. Teori Fenomenologis
Fenomen berarti “sebagai yang dimaksud atau diturunkannya sendiri.” Dengan demikian, teori fenomenologis adalah kajian terhadap sesuatu menurut yang dimaksud sendiri oleh yang dikaji. Suatu masyarakat yang menjadi objek penelitian dengan pendekatan fenomenologis berarti berusaha memahami maksud simbol, kepercayaan, atau ritual menurut yang mereka pahami sendiri. Tentu saja pemahaman masing-masing masyarakat terhadap kebudayaan mereka sendiri akan bermacam ragam karena masyarakat dan budaya juga bermacam ragam. Apa yang dimaksud hakikat yang dipelajari menurut pemilik sendiri juga berbeda di antara pendukung pendekatan fenomenologis.
Dari defenisi, teori dan penjelasan tentang agama yang diungkap di atas terlihat pula ada ahli antropologi yang menunjukkan perhatian kepada asal-usul agama. Asal-usul agama dari Tuhan tentu tidak empirik, tidak dapat dibuktikan. Yang dapat dibuktikan adalah kondisi psikologis manusia yang diliputi ketidaktahuan dan kecemasan menghadapi gejala alam. Karena itu, ada ahli antropologi yang memberikan defenisi agama sebagai pelarian manusia yang lemah memahami kedahsyatan alam semesta, lemah mengendalikan alam, lemah menata kehidupan bersama, atau lemah mendapatkan bahagia dalam kehidupan sehingga mereka menyandarkan kelemahan mereka dengan berpegang kepada yang gaib.
Walaupun tinjauan dari asal-usul beragama yang digali kondisi psikologis manusia ini mengandung kebenaran, tetapi implikasinya meniadakan agama setelah manusia menjadi kuat dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Ini pandangan modernisme yang menekankan aspek kemajuan fisik. Akan tetapi, pengalaman manusia yang hanya menekankan aspek fisik dan ekonomi menunjukkan mereka terperangkap pula kepada krisis identitas, krisis nilai kehidupan, dan kegersangan spiritual sehingga banyak yang lari ke aliran-aliran pemujaan. Jadi, defenisi dengan tinjauan asal-usul psikologi dari kecenderungan manusia beragama dapat pula dipahami kebenarannya, sehingga untuk tercapainya kebahagiaan, menusia tidak hanya membutuhkan sarana fisik dan material, tetapi juga nilai-nilai spiritual yang sulit dirumuskan dengan kemampuan akal dan metode ilmiah saja.
ORGANISASI KEAGAMAAN
Tipe-Tipe Organisasi Keagamaan dan Tipe-Tipe Masyarakat
Semua pengkaji organisasi keagamaan sangat berhutang budi kepada tulisan-tulisan sarjana Jerman,Ernst Troeltsch, penulis karya monumental, Social Teaching of the Christian Churches. Troeltsch membedakan antara dua tipe utama kelompok keagamaan. Yaitu geraja dan sekte (ecclesia). Bagi Troeltsch gereja atau ecclesia adalah suatu tipe organisasi keagamaan yang merupakan ciri khas suatu gerakan keagamaan dalam fase kematangan dan kemampuannya.
Di lain pihak sekte menandai tahap-tahap permulaan yang dinamik dari suatu gerakan. Troeltsch membatasi pengkajiannya pada agama Kristen. Karena keaneka ragaman tipe organisasi yang terdapat di dalamnya, Troeltsch menjadikan Kristen sebagai contoh. Di lain pihak penelitian-penelitian Max Weber terhadap agama Yahudi purba dan agama-agama di India dan Cina menunjukkan bahwa tipologi Troeltsch dapat diaplikasikan secara luas.
Meskipun ecclesia menurut Troeltsch, atau tipe gereja, dan sekte merupakan dua variasi utama kelompok-kelompok keagamaan dan kedua tipe tersebut berguna sekali untuk dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan, namun sarjana-sarjana sosiologi menambah dua subtipe lagi. Yaitu aliran keagamaan (denomination) dan pengamalan keagamaan (cult).
Ecclesia, Sekte, Aliran Keagamaan dan Pengamalan Keagamaan
Ecclesia adalah sebuah gereja yang menekankan keuniversalannya di dalam suatu daerah tertentu, baik nasional maupun internasional. Semua anggota yang dilahirkan di dalam daerah ini dianggap, berdasarkan tempat tinggal mereka sebagai anggota-anggota ecclesia. Pola kekuasaannya pada umumnya formal dan tradisional. Kekuasaan ini berpusat dan mengenal hirarki.
Oleh karena itu organisasi tersebut terjalur dari atas kebawah dengan menggunakan garis komando. Berbagai macam pemimpin muncul dalam organisasi yang besar dan bervariasi ini. Pemimpin tertingginya adalah pendeta dan bukan nabi. Pendeta adalah pejabat yang kekuasaannya didukung oleh hirarki. Tugas pokoknya yaitu mengurus sarana-sarana sakramental untuk memberikan rahmat bagi para anggota, adalah eksklusif dan sangat penting.
Ecclesia jauh berbeda dengan sekte, tidak menarik diri dari dunia dan juga tidak memeranginya. Tujuannya adalah menguasai dunia untuk kepentingan organisasi. Oleh karena itu terdapat hubungan saling memberi dan menerima antara pemerintahan ecclesia dengan lembaga-lembaga sekuler dalam masyarakat, termasuk pemerintahan sipil. Karena alasan inilah ecclesia menguasai dunia tetapi ia sendiri juga dikuasai oleh dunia.
Sebaliknya sekte pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif dan anggota-anggotanya tergabung secara sukarela biasanya orang-orang dewasa. Kekuasaan dijalankan oleh seseorang berdasarkan atas kharisma perorangan dan bukan atas dukungan hirarki. Meskipun demikian disiplin keagamaan dalam sekte tersebut keras dan dilaksanakan bersama dengan saling mengawasi diantara anggota-anggota kelompok tersebut. Sekte-sekte ditandai dengan semangat keagamaan dan etika.
Kepercayaan-kepercayaan mereka menekankan ajaran-ajaran Injil dari masa-masa paling awal, dan praktek-praktek keagamaan mereka menekankan cara hidup orang Kristen pertama. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan sekte tersebut mempertajam perbedaan antara anggota-anggota kelompok sekte yang erat bersatu dengan dunia luar. Memang anggota sekte biasanya bermusuhan dengan anggota semua gereja lain dan seringkali dengan sekte-sekte saingan mereka juga. Oleh karena itu sekte-sekte cenderung radikal dalam penolakan mereka terhadap pemerinatahan sekuler.
Organisasi Keagamaan dan Gerakan-gerakan Keagamaan
Meskipun tipe-tipe organisasi keagamaan yang beraneka ragam itu mungkin bisa hidup bersama dalam satu masyarakat, namun beberapa tipe lebih sesuai bagi beberapa tipe masyarakat tertentu daripada bagi masyarakat lain. Bukti historik menunjukkan bahwa gerakan keagamaan baru dengan baik sekali dapat menanamkan pengaruh yang kuat pada masyarakat jika gerakan tersebut lahir pada saat peradaban sedang dalam keadaan kacau.
Gerakan besar keagamaan pra-Kristen muncul selama masa-masa perubahan dan pergolakan cepat yang menggoncang peradaban purba. Adalah suatu fakta yang luar biasa bahwa kira-kira pada kurun waktu yang sama terlihat perkembangan agama Kong Fu Tsu di Cina, filsafat Brahmana dan munculnya agama Budha di India, serta gerakan kenabian di Jedua. Belum lagi munculnya kebudayaan klasik di Yunani. Periode ini adalah masa ketidakpastian yang melanda seluruh dunia yang beradab. Pada abad ini gerakan-gerakan besar dibidang keagamaan muncul dan pada umumnya karena pengaruh agama. Nilai-nilai yang sejak saat itu telah mengarahkan peradaban terbentuk.
Keruntuhan peradaban Romawi menampilkan tipe masyarakat baru yang sangat mirip dengan tipe masyarakat yang kami golongkan sebagai tipe kedua. Oleh karena itu agama-agama besar dunia tumbuh menjadi dewasa di dalam masyarkat tipe kedua, dan memainkan peranan penting dalam membentuk nilai-nilainya. Di dalam masyarakat agraris yang begitu luas dan tidak adanya nasionalisme serta pemerintahan pusat yang kuat serta kurangnya metode-metode ilmiah dan ekonomi memungkinkan agama memainkan peranan sosial dan politik yang dominan. Lagi pula kurangnya sarana komunikasi dan rendahnya standar kemampuan tulis baca pada seluruh lapisan masyarakat tersebut. Dan kurangnya persaingan dari agama-agama lain juga memacu perkembangan suatu ecclesia atau gereja yang universal.
Pada saat tipe masyarakat kedua mulai pecah dan kelas-kelas serta kepentingan-kepentingan baru bermunculan menentang tertib lama yang sudah mapan, maka timnullah banyak sekte. Ecclesia yang sudah mapan dalam masyarkat-masyarakat tidak hanya kuat pada organisasinya saja, tetapi juga merupakan pendukung kuat bagi lembaga-lembaga sosial dan politik yang sudah ada. Oleh karena itu oposisi yang ingin berhasil haruslah sungguh-sungguh dan penuh semangat.
Lagi pula oposisi yang meningkat untuk menanamkan kekuasaan hampir tidak dapat dihindari dalam masyarakat setengah urban yang masih belum metropolitan dan belum begitu sekuler dan hal ini dibenarkan sebagai suatu pengembalian kepada apa yang mungkin disebut sebagai gospel christianty. Tipe pembenaran keagamaan ini sesungguhnya digunakan oleh pengikut-pengikut sekte yang berjuang dan tumbuh di Eropa pada abad ke-17 pada saat keresahan umum yang memberikan kepada kelompok-kelompok keagamaan ini kesempatan yang besar sekali untuk menanamkan etika mereka pada masyarakat sekitarnya.
Memang jenis etika Puritan ini terlepas dari semua peristiwa yang telah terjadi sejak saat itu, belum semuanya hilang dari dalam kehidupan nasional Inggris atau Amerika. Karena keadaan pada abad ke-17 secara berangsur-angsur memberi tempat kepada etik-etik dunia modern dan karenamasyarakat-masyarakat tipe kedua berubah menjadi masyarakat tipe ketiga, maka banyak sekte-sekte terdahulu yang mencapai keberhasilan duniawi oleh karena itu menjadi lebih mapan dan kurang militan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Rajawali Pers. Jakarta, 2006.
Nottingham Elizabeth K. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 1998.
O’Dea Thomas F. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal. Cetakan ke-6. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Utara, 1995