1. Mengapa dibutuhkan undang-undang pers?
Memutuskan sebuah undang-undang bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan banyak pertimbangan. Begitupun dalam memutuskan undang-undang pers yang mengatur tentang penyiaran. Undang-undang pers sendiri dibutuhkan karena menimbang banyak hal yaitu:
a. kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
c. bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin tercapainya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d. bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial;
e. bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e maka Undang –undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu dicabut dan membentuk Undang-undang tentang Penyiaran yang baru.
2. Apakah undang-undang tersebut mengatur tentang etika komunikasi?
Seperti dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, di dalamnya memuat tentang aturan dan etika dalam komunikasi. Bisa dilihat pada Bab IV tentang Pelaksanaan Siaran pasal 36 ayat 1-6 yaitu:
1. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% mata acara yang berasal dari dalam negeri.
3. Isi siaran wajib memberikan perindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
4. isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
5. Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang, atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
6. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
3. Bagaimana PWI bersama Komponen Pers membangun Etika Jurnalistik (KEJWI)?
PWI dan Komponen Pers dalam membangun Etika Jurnalistik tunduk dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang tercantum pada Pasal 42 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
4. Jelaskan pengertian tentang Pers sbb; Apakah istilah-istilah tersebut sudah diterapkan dalam Undang-undang pers?
Right to Know
Right to know atau hak untuk tahu, dalam undang-undang ini sudah terlaksana. Karena pada Pasal 64 dijelaskan bahwa agar setiap orang tahu tentang undang-undang ini, maka pemerintah memerintahkan undang-undang ini ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Selain itu, pada pasal 48 ayat (3) juga mewajibkan kepada KPI untuk menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada lembaga penyiaran dan masyarakat umum.
Fairness-big name make news
Fairness atau dalam bahasa Indonesianya kejujuran. Dalam undang-undang ini terbahas pada pasal 8 ayat (3) huruf d. Namun tidak dibahas secara khusus, hanya disinggung secara umum dengan bahasa yang berkaitan dengan kejujuran.
Cover both-side and justice
Cover borh side dalam istilahnya merupakan arti dari keberimbangan. Dalam hal ini, undang-undang pers masih terdapat ketidak berimbangan, seperti pada Pasal 30 yang melarang penyiaran asing didirikan di Indonesia. Bukan hanya itu, pada Pasal 16 ayat (2), warga negara asing juga dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, (kecuali bidang keuangan dan bidang teknik). Kemudian pada Pasal 17 ayat (2) warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki saham pada Lembaga Penyiaran Swasta lebih dari 20%.
Hal tersebut menggambarkan bahwa negara Republik Indonesia masih menutup diri dari pihak asing dalam hal penyiaran. Dan menunjukkan bahwa undang-undang tersebut tidak cover both side atau tidak seimbang. Padahal dalam hal penyiaran atau kerja-kerja jurnalis, keberimbangan merupakan hal yang sangat penting.
Namun dalam undang-undang ini sendiri tetap membahas tentang kenetralan yang terdapat pada pasal 36 ayat (4) dan pasal 8 ayat (3) huruf d.
Abuse
Abuse atau samar-samar masih terdapat dalam undang-undang ini. Karena masih terdapat hal-hal yang tidak dijelaskan dengan lebih rinci, seperti ketentuan-ketentuan yang pembahasannya diluar dari undang-undang dan masih samar-samar. Contohnya pada pasal 30 ayat (3), pasal 32 ayat (2), pasal 33 ayat (8), pasal 55 ayat (3), pasal 14 ayat (10), pasal 43 ayat (4). Pada pasal-pasal tersebut dijelaskan bahwa ketentuan-ketentuan selanjutnya akan dibahas oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Bias (manipulasi)
Bias atau manipulasi dalam pengamatan penulis tidak terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Karena semua yang terdapat dalam undang-undang ini sudah mencakup semua tentang kepenyiaran dan tidak ada yang mengarah kepada kebiasan atau manipulasi. Sedangkan tentang kerja-kerja jurnalisme bias dibahas pada pasal 36 ayat (5).
Plagiarisme
Plagiat atau pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau jiplakan. Tidak terlalu disinggung dalam undang-undang ini, namun hanya dibahas secara umum tentang hal-hal yang dilarang dalam siaran pada pasal 36 ayat (5).
Accuracy
Akurasi atau kecermatan; ketelitian; ketepatan teliti; saksama; cermat; tepat benar. Sama halnya dengan bias dan plagiarisme tidak terlalu dibahas secara khusus tapi tetap disinggung secara umum pada pasal 36 ayat (5).
Off the Record
Off the Record atau yang kita kenal dengan hak narasumber untuk tidak mengutip kata-katanya, juga dibahas dalam undang-undang ini yaitu pada pasal 48 ayat (4) huruf b, dimana setiap palaku pers agar memberikan rasa hormat terhadap hal-hal pribadi.