Tugas II Bahasa Jurnalistik
Nama: Ali Rahman Mutajalli
Nim: 1110 0511 00077
Jurusan: Jurnalistik IV/C
Materi: Ciri/Karakteristik/Kekhasan/Bahasa Jurnalistik
Setelah membaca beberapa referensi, hampir semua sumber menjelaskan hal yang sama tentang ciri-ciri, karakteristik ataupun kekhasan bahasa jurnalistik. Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the message” menyatakan bahwa, setiap media mempunyai tata bahasanya sendiri. Yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996: 248).
Ciri-ciri bahasa jurnalistik tersebut diantaranya: sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata atau diksi yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sebisa mungkin menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika. (Sumadiria, 2005:53-61).
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan beberapa maksud dari ciri-ciri bahasa jurnalistik diatas dan beberapa contoh agar mudah dipahami. Penjelasan berikut diambil dari beberapa sumber bacaan yang membahas tentang kejurnalistikan.
Singkat, berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers. Contoh: “Pedagang itu mengalami kerugian besar” disingkat menjadi “Pedagang itu rugi besar”, “Harga premium mengalami penurunan” disingkat menjadi “Harga premium turun”.
Sederhana, berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen (terdiri atas berbagai unsur yg berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam), baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit atau hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
Padat, menurut Patmono SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalistik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kalimat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi. Contoh: “Tidak untung” menjadi “Rugi”, “Petani sulit mendapatkan pupuk” menjadi “Petani langka pupuk”.
Lugas, berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut. Contoh: “Aku mencoba berpaling pada makhluk indah lainnya, namun aku tak bisa”.
Jelas, berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran dan maksudnya. Contoh: “Seminar itu hasilnya dipublikasikan” harusnya “Hasil seminar itu dipublikasikan”, “Obat itu khasiatnya sangat bagus” harusnya “Khasiat obat itu sangat bagus”.
Jernih, berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memilki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan keculai fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam perspektif orang-orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (psitive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita kan dapat melihat smua fenomena dan persoalan yang teradpat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih, dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik. Contohnya: “Karena tidak membayar SPP, Dhoni dikartu merah oleh pihak sekolah” (karena kata kartu merah pada kalimat tersebut memiliki makna lain, maka kata kartu merah mesti memakai tanda petik), menjadi “Karena tidak membayar SPP, Dhoni “dikartu merah” oleh pihak sekolah”. Berbeda dengan makna kata kartu merah berikut ini: “C.Ronaldo mendapatkan kartu merah pada menit ke sembilan” (kata kartu merah tersebut mutlak sebuah kartu berwarna merah).
Menarik, menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku. Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dari pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers. Contoh: “Persib mengalahkan persija” (bahasanya diganti agar lebih menarik) menjadi “Persib membantai persija”.
Demokratis, berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa. Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun sama, baik presiden maupun tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung pun diperlakukan sama. Sebagai contoh, presiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing pun makan.
Populis, berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Kebalikan populis adalah elitis, yaitu bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami oleh segelintir kecil orang saja terutama karena berpendidikan dan berkedudukan tinggi. Biasanya bahasa yang dimaksud adalah bahasa teknik ilmiah, atau kata-kata sandi yang digunakan hanya pada kalangan kelompok, lapisan atau bahkan geng tertentu.